Jumat, 18 Januari 2013
A.
Definisi dan Penjelasan Kerah Putih
White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih)
Istilah kejahatan
kerah putih mengacu pada suatu kategori yang menggambarkan perilaku tidak sah
yang sangat mendasar, dibedakan dari kejahatan “jalanan” atau “tradisional”
seperti perampokan, pencurian, penyergapan, dan pembunuhan. Tidak ada
pelanggaran KUU Pidana yang secara khusus memberi judul “kejahatan kerah
putih,” selain penunjukan yang mencakup pelanggaran hukum yang berbeda,
terutama delik pengaturan.
Bentuk kejahatan kerah putih adalah
perdagangan saham oleh orang dalam, konspirasi antitrust dalam pembatasan
perdagangan, mengetahui pemeliharaan dari kondisi tempat kerja yang
membahayakan kesehatan, dan penipuan oleh dokter terhadap program pemanfaatan
medis. Ukuran yang digunakan untuk membedakan seseorang melakukan kejahatan
kerah putih dari kejahatan lainnya adalah, bahwa tindakan yang dilaksanakan
merupakan bagian dari peran jabatan yang dilanggar; suatu peran yang biasanya
menempati dunia bisnis, politik, atau profesi (Green, 1990).
Telah dicatat bahwa
tindak pidana biasa mempunyai kecenderungan untuk mempersatukan masyarakat.
“Orang-orang yang “baik” dan “pantas” datang bersama-sama untuk menghukum
penjahat yang umum. Mereka menguatkan kesanggupan mereka sendiri untuk
penyesuaian diri, di samping belajar bahwa tindakan seperti itu dapat mendorong
kearah hukuman penjara dan sakit.
Penjahat kerah putih, pada sisi lain,
mengancam integritas suatu masyarakat sebab mereka menyangsikan hak kekuasaan
kehendak masyarakat sosial, dan mereka mengikis kepercayaan dan kesadaran
hukum. Di samping mereka lebih mengakibatkan kejahatan dan kematian warga
dibanding kejahatan jalanan. Pengelapan uang oleh petugas bank lebih banyak
dibandingkan pencurian oleh perampok bank, banyak orang dibunuh oleh pembedahan
yang tak perlu dibanding dibunuh oleh para pembunuh tradisional.
Bloch dan Geis (1970) membagi
kejahatan kerah putih dalam lima bagian[2],
yaitu:
A. Sebagai individual (dilakukan oleh
profesional seperti pengacara, dokter)
B. Pekerja terhadap perusahaan atau
bisnis (contohnya korupsi)
C. Petugas pembuat kebijakan untuk perusahaan (contohnya dalam kasus anti
monopoli)
D. Pekerja perusahaan terhadap
masyarakat umum (contohnya penipuan iklan),
E. Pelaku bisnis terhadap konsumennya
(contohnya penipuan konsumen).
B.
Jenis Dalam Kejahatan Kerah Putih
Forgery
atau lebih umum dikenal sebagai pemalsuan tanda tangan, ternyata memiliki
karakteristik yang membuatnya dapat dikategorikan sebagai Kejahatan kerah
putih. Kejahatan kerah putih atau white collar crime, diperkenalkan
oleh kriminolog Edwin Sutherland pada tahun 1939. Sutherland mendefinisikan white
collar crime sebagai “kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan
status yang terhormat dan status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya”.
Kejahatan
kerah putih terjadi karena adanya motivasi finansial, yang dilakukan secara
illegal, dan biasanya dilakukan tanpa kekerasan atau non-violent. Kejahatan
ini disebut sebagai kejahatan kerah putih, karena kerah putih yang
digunakan para pelakunya adalah simbol para korporat dan para pekerja dengan
status terhormat. Dalam kriminologi, para pelaku white collar crime
memiliki atribut dan motif yang berbeda dibandingkan pelaku kejahatan jalanan
atau street criminals. Contoh kejahatan kerah putih yang
lebih umum dikenal adalah tindakan korupsi.
Mari kita
bahas pelan pelan. Pertama, forgery itu tidak seperti tindakan
kriminal jalanan atau street crimes, yang biasa terjadi di pinggir
jalan dan dilakukan oleh sembarang orang. Kita mengenal berbagai macam street
crimes seperti perampokan, pencurian, maupun penodongan. Forgery,
tidak bisa dikategorikan seperti itu. Coba perhatikan, pada tindakan street
crimes, biasanya korban dan pelaku sama sama saling tidak mengenal.
Kalaupun
pelakunya memilih korbannya dengan cara mengamati, memperhatikan pola
tindakannya hingga berhari hari melalui stalking, namun tetap saja, jarang
sekali mereka memiliki pola hubungan interaksi yang saling kenal sebelumnya.
Sedangkan, pada tindakan forgery, ternyata ada pola hubungan saling
mengenal antara korban dan pelaku. Pelaku tahu persis tentang bentuk tanda
tangan korban, jumlah uang yang ada dalam rekeningnya, dan pola transaksi
korban. Selain itu, pelaku forgery juga memiliki kedudukan tertentu
yang membuat dirinya dapat dengan bebas mengakses data diri korbannya sehingga
bisa dengan leluasa menggunakannya untuk tujuan pribadi.
Ketika
seseorang sudah menggunakan kedudukan dan jabatannya untuk penyimpangan dan
keuntungan pribadi, maka tindakannya tersebut dapat dikategorikan sebagai white
collar crime. Kembali lagi pada forgery, ketika seseorang
memalsukan tanda tangan pada dokumen tertentu, biasanya disitu ada
penyalahgunaan wewenang kekuasaan yang ada pada dirinya. Umumnya forgery
seperti ini sering terjadi pada institusi finansial seperti bank.
Terkait
dengan pembahasan forgery pada tulisan ini, ternyata sering sekali forgery
dilakukan oleh pelaku yang punya pekerjaan dengan akses untuk mengetahui data
diri potensial korbannya, termasuk tanda tangan dan isi rekening tabungannya.
Selain itu, tindak kejahatan seperti ini juga semakin bisa terjadi ketika ada
pemberian kepercayaan berlebih dari seorang nasabah kepada officer di
institusi keuangan.
Biasanya
kepercayaan berlebih ini bisa berupa kewenangan untuk “meniru tanda tangan”
ketika saat saat urgent, dan sang nasabah sedang berhalangan di tempat untuk
memberikan tanda tangan aslinya. Awalnya, kepercayaan yang sangat beresiko
seperti ini, diberikan untuk kemudahan transaksi. Namun lama kelamaan, apabila
tidak ada pengawasan, akan muncul penyalahgunaan kepercayaan atau abuse
of trust.
Kepercayaan
yang diberikan bisa disalahgunakan oleh officer di institusi keuangan
tersebut untuk keuangan pribadinya. Pelaku kejahatan kerah putih biasanya
merasionalisasi tindakannya sebagai bagian dari pekerjaan mereka. Ketika pelaku
dituduhkan sebagai pelaku kejahatan karena memalsukan tanda tangan, maka ia
akan membela dirinya dengan menyebut hal itu sebagai kewenangan yang diberikan
oleh nasabah untuk mempermudah transaksi. Pelaku kejahatan kerah putih, umumnya
tidak akan melihat dirinya sebagai kriminal, karena memang pekerjaan sehari
hari mereka bukanlah berbuat kriminal, tapi mereka kerap melakukan kriminal
dalam pekerjaan legal mereka.
Dalam prakteknya kejahatan kerah putih
juga memiliki power (kekuatan) yang menunjang. Hal ini dapat dilihat
dari contoh kasus seperti Inong Malinda Dee, Relation Manager Citigold, Vice
President, di Citibank. Modus yang dilakukan oleh Malinda Dee, yakni
menyodorkan form transfer kosong kepada nasabah agar ditandatangani. Tujuannya,
agar dia bisa leluasa memindahkan uang mereka ke sejumlah rekening.
Jika dilihat dari modus yang
digunakan, maka terlihat jelas bahwa Malinda Dee menggunakan kekuatan yang ia
punya di tempat pekerjaannya untuk melakukan kejahatan kerah putih. Kejahatan
kerah putih yang dia lakukan juga di dukung oleh ketidaktahuan korban terhadap
apa yang sudah dilakukan Malinda Dee terhadap rekeningnya. Lebih dari itu,
korban juga lebih terintimidasi atau dirugikan. Ketidaktahuan korban dan
intimidasi yang didapat korban ini merupakan karakteristik kejahatan kerah
putih.
http://putroperdana.wordpress.com/2012/11/01/forgerykejahatankerahputih/
http://kahfidirgacahya.blogspot.com/2012/04/narasi-faktor-faktor-yang-memunculkan.html
KONSEP
ETIKA DAN HUKUM
Ø Etika
biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari
bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga
adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan
menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Ø Norma
adalah peraturan hidup yang berisi larangan maupun perintah yang bersifat
mengatur dan memaksa demi terjaminnya tata tertib dalam masyarakat.
Norma menurut isinya terbagi menjadi dua
macam, yaitu:
*
Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh
karena akibatnya dipandang baik.
*
Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu
oleh karena akibatnya dipandang tidak baik.
Ø Hukum
adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa negara atau
pemerintah secara resmi melalui lembaga atau intuisi hukum untuk mengatur
tingkah laku manusia dalam bermasyarakat, bersifat memaksa, dan memiliki sanksi
yang harus dipenuhi oleh masyarakat.
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)