Rabu, 20 Oktober 2010

Paket Deregulasi Perbankan

Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kondisi perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik karena faktor eksternal maupun internal. Kemampuan pemerintah untuk menopang dana pembangunan semakin berkurang, untuk itu dilakukan perubahan strategi untuk mendorong peranan swasta agar lebih besar melalui kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian yang dilakukan oleh pemerintah. Dan Bank Indonesia (BI) tetap berdasarkan Undang - Undang (UU) No. 13/1968 tentang bank sentral dan beberapa pasal dalam UU No. 14/1967 tentang perbankan, akan tetapi dalm pelaksanaannya terjadi perubahan fundamental karena segala kebijakan yang dilaksanakan Bank Indonesia (BI) dilakukan berdasarkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan pemerintah
Dampak dari over-regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut. Pada 1983, tahap awal deregulasi perbankan


Berikut beberapa paket deregulasi yang dilaksanakan :

1.   Paket Deregulasi 1 Juni 1983 (Pakjun)
Pada tahap awal deregulasi ini, dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan
suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan
pengembangan koperasi dan ekspor. Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim
persaingan antar bank. Banyak bank, terutama bank swasta, mulai bangkit untuk mengambil
inisiatif dalam menentukan arah perkembangan usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat
system pengawasan bank yang di antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan blacklist yang
diberi nama resmi Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan Tercela (DOT) di bidang
perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh lagi berkecimpung dalam dunia
perbankan.

Memasuki periode ini, perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan harus menyesuaikan usahanya dengan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang ekonomi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan dikeluarkannya kebijakan ini, bank-bank medapatkan kebebasan dalam menentukan besarnya kredit yang diberikan sesuai dengan dana masyarakat yang dapat dihimpun. Disamping itu, kepada bank-bank pemerintah diberi kebebasan menentukan sendiri tingkat suku bunga baik suku bunga dana maupun kredit. Kebijakan tersebut bertujuan agar perbankan
sebanyak mungkin membiayai pemberian kreditnya dengan dana simpanan masyarakat dan mengurangi ketergantungan bank-bank pada KLBI.

Pakjun 1983 belum mengatur perubahan kebijakan kelembagaan dan dorongan perbankan untuk menciptakan produk-produk jasa perbankan baru maupun meningkatkan efisiensi dalam operasi bank. Dalam rangka lebih meningkatkan kemampuan perbankan untuk menghimpun dana masyarakat dan memberikan kredit, perluasan jaringan bank diperlukan. Perluasan jaringan bank tersebut bukan sekadar untuk memperluas wilayah monetisasi kegiatan ekonomi, tetapi juga untuk
memperluas jasa perbankan. Upaya untuk mendorong timbulnya produk-produk baru diperlukan dalam penghimpunan dana dari masyarakat. Di samping itu, persaingan yang sehat di antara bank-bank juga diperlukan sebagai salah satu unsure pendorong peningkatan efisiensi.


2.   Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88)
Di tahun 1988, pemerintah dan Bank Indonesia lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan
mengeluarkan kebijakan ini (Pakto 88) yang dijadikan titik balik dari berbagai kebijakan penertiban
perbankan 1971–1972. Dengan kebijakan yang terangkum dalam Pakto 1988, kebijakan deregulasi
perbankan berkembang menjadi deregulasi yang sangat luas karena di dalamnya termasuk juga
aspek kelembagaan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk
bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal
Rp 100 juta.

Beberapa keunggulan dari kebijakan ini, yaitu :
a.   Mendorong perluasan jaringan keuangan & perbankan ke seluruh wilayah Indonesia serta diversifikasi sarana dana.
b.   Kemudahan pendirian bank-bank swasta baru, pembukaan kantor cabang baru,pemberian ijin penerbitan sertifikat deposito bagi lembaga keuangan bukan bank, perluasan tabungan.
c.       Penurunan likuiditas wajib minimum dari 25% menjadi 2%.
d.      Penyempurnaan Open Market Operation.

Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan.

Namun demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan. Pakto dibuat juga untuk mewujudkan tujuan dari Pakjun 83




3.   Paket Kebijakan 19 Januari 1990
Beberapa keunggulannya ialah, sbb :
a.        Peningkatan efisiensi dalam alokasi dana masyarakat kearah kegiatan produktif & peningkatan pengerahan dana masyarakat.
b.       Mengurangi ketergantungan kepada KLBI . Paket ini meliputi kredit kepada KOPERASI, kredit pengadaan pangan & gula, kredit investasi, kredit umum, KUK
c.        Kewajiban bagi bank untuk menyalurkan 25% dananya ke bidang pengembangan usaha kecil & perorangan.


4.   Paket Kebijaksanaan 20 Februari 1991 (Pakfeb)
Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan
yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Dengan paket itu, persyaratan
kecukupan modal, kualitas aktiva produktif, produktivitas & efisiensi usaha, likuiditas dan
pengelolaan bank secara keseluruhan diperketat. Demikian pula pemberian kredit kepada pihak
terkait dengan bank maupun debitur grup serta posisi devisa neto juga dibatasi dengan ketat.
Melalui Pakfeb pula masing-masing bank diwajibkan sadar risiko. Untuk itu masingmasing bank
diharuskan menerapkan prinsip-prinsip self regulatory dan self assessment. Patut dicatat bahwa
ternyata perkembangan yang demikian pesat tidak hanya terjadi di perbankan melainkan juga di
lembaga keuangan non-bank. Dalam perkembangannya diketahui bahwa ternyata kedua jenis
lembaga ini acapkali memberikan kredit kepada debitur yang sama dengan persyaratan yang sama
pula.

Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi
perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU Perbankan 1992 juga
menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati - hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi
bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak
melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman
hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank
Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.

Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya
kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank
untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit
macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa
Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara.
Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit
adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan.

Beberapa rincian dari Pakfeb ini adalah :
a.    Kelanjutan Pakto 27 1988
b.    Berkaitan dengan ketentuan pengaturan perbankan dengan prinsip prudential
c.     Pengawasan & pembinaan kredit dilakukan dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat & efisien.
d.    Pemisahan antara pemilikan bank & manajemen bank secara professional


5.   Paket Kebijakan 29 Mei 1993 (Pakmei)
Pakmei dikeluarkan untuk melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991 Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy
dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing. Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi
meningkat.

BI, sejak 1995, mulai memperberat syarat ketentuan untuk menjadi bank devisa, meski langkah tersebut belum bisa menahan laju pertumbuhan perbankan. Pada 1996, sebagai upaya untuk menekan ekspansi kredit perbankan yang dianggap sebagai pemicu memanasnya mesin perekonomian, diterapkan kembali kebijakan moral suasion dengan cara menghimbau bank untuk menekan laju ekspansi kreditnya. Mulai 1997, walaupun ekpansi kredit perbankan mulai dapat ditahan, namun perkembangan usaha perbankan menjadi lebih sulit dikendalikan. Untuk itu, BI telah berencana untuk melikuidasi tujuh bank yang ternyata belum mendapat restu dari pemerintah.



Analisa :

Menurut saya dari berbagai paket kebijakan perderegulasian dan debirokratisasi diatas, saya yakin sepenuhnya telah dijalankan, tetapi saya juga yakin dari semua kebijakan - kebijakan diatas tidak sepenuhnya berjalan dengan baik atau dengan kata lain pasti ada sisi negatifnya, dari penglihatan saya sepertinya hanya didalam Pakto 88 sajalah yang terlihat ada kemajuan dan peningkatan dari semua kebijakan yang telah dikeluarkan terutama dari kebijakan sebelumnya, tetapi sayangnya semua itu hanyalah seperti sebuah wacana saja, karena semua kebijakan tersebut sejauh yang saya tahu, hanya dapat dirasakan oleh berbagai perusahaan dan bank – bank swasta maupun bank – bank yang non-swasta, tetapi tidak dapat dirasakan efeknya bagi rakyat secara keseluruhan ataupun kemakmurannya bagi mereka. Dan juga kebijakan itu semua hanya terjadi dimasa pada saat itu dan mungkin tidak begitu terasa atau terjadi dimasa sekarang. Oleh karena itu, seandainya dimasa Indonesia sekarang, Bank Indonesia janganlah hanya mengeluarkan uang – uang pecahan baru saja, tetapi juga seandainya BI juga melaksanakan kembali kebijakan – kebijakan seperti layaknya Pakto 88, karena dimasa sekarang ini bank – bank sudah banyak, tetapi masih ada saja rakyat yang masih belum maju, seandainya semuanya telah dilaksanakan dengan benar dan rapi tanpa KKN, pasti akan tercium juga wangi kemakmuran dinegeri kita yang tercinta ini.

Referensi :


0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates