Selasa, 17 Mei 2011
Mikromantika
Aku adalah setangkai mawar
Seorang penyair muda kasmaran mendapatkan aku dari sebuah kios bunga dengan merelakan selembar uang kertas lima ribuan satu-satunya penghuni dompetnya ketika itu. Entah kenapa aku yang berwarna merah muda ini yang dipilihnya untuk dia berikan kepada seorang perempuan yang sedang berulang tahun hari itu? Mungkin, karena saat itu dia belum bernyali besar untuk menyatakan perasaannya.
Kemudian, tak ada seorangpun yang tahu-kecuali perempuan itu dan aku-bagaimana nasibku selanjutnya?
Yang pasti aku tak akan pernah mati, hanya bertansformasi diri dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Kami adalah dua lembar tiket masuk bioskop
Seorang karyawan perempuan sebuah gedung sinema menyobek kami dari mesin cetak untuk dia berikan kepada seorang penyair kasmaran. Lalu dimasukkannya kami ke dalam lipatan dompetnya. Tak lama kemudian kami diserahkan kepada penjaga pintu teater, disobeknya kami oleh si penjaga teater itu menjadi dua bagian, separuh untuknya, separuh untuk si penyair muda kasmaran itu.
Diselipkannya kembali kami oleh si penyair ke dalam dompetnya.
Kemudian, tak ada seorangpun yang tahu-kecuali kami dan si penyair itu-bagaimana nasib kami selanjutnya?
Setahuku, sebagian orang-biasanya orang-orang melankolis romantis-akan menyimpannya sebagai kenang-kenangan atas sebuah momen (penting) untuk kelak suatu hari nanti jadi penuntun untuk sekedar bernostalgia atau mengingat-ingat masa lalu di kala sedang merindukan seseorang, suatu perasaan, sebuah peristiwa, suatu suasana yang mungkin tak akan pernah terulang untuk kedua kalinya.
Aku adalah ban belakang sepeda motor yang bocor
Beberapa meter sebelum sampai di terminal bus.
Aku adalah telepon genggam yang hampir hilang.
Melesat keluar dari saku celana pendek seorang perempuan.
Aku adalah sebuah balkon
Di lantai atas sebuah rumah kos-kosan putri berlantai dua. Di atasku kini ada dua sosok manusia. Yang satu berjenis kelamin perempuan dan berparas teguh. Yang satu berjenis kelamin lelaki berwajah rapuh. Ini kesekian kalinya aku melihat mereka berduaan saja. Di lain waktu aku melihat si perempuan bersama lelaki lainnya lagi, kadang bermain kartu bersama teman-temannya, bahkan terkadang sendirian saja.
Si lelaki yang tampak seperti seorang penyair itu, sepertinya masih menyimpan perasaan lebih terhadap si perempuan. Aku bisa menerka dari caranya menatap mata si perempuan, bahkan menurutku dia masih berharap kalau seandainya si perempuan itu mau membuka pintu hatinya. Ah, betapa naifnya lelaki penyair itu. Sesungguhnya pintu itu selalu terbuka, hanya saja bukan untuk dia, melainkan untuk lelaki yang selain dia. Dia tidak masuk hitungan dalam daftar kriteria tipikal lelaki yang di idam-idamkan si perempuan.
Aku sering melihatnya tertawa, menangis, atau merenung, tapi dia tak pernah sekalipun mengajakku bicara. Aku sering memerhatikan saat ia makan, minum, bersendawa, menguap, mengantuk, atau termenung. Tapi, ia tak pernah sedikitpun percaya bahwa aku bisa menjaga rahasianya padaku kalau saja dia mau berbagi rahasianya padaku.
Sampai detik ini tak ada seorang pun yang sungguh-sungguh tahu-kecuali si perempuan itu dan hatinya- bagaimana perasaannya sesungguhnya terhadap si lelaki penyair itu. Sepengetahuanku, dari hasil curi-curi dengar atas pembicaraan teman-temannya, suatu hari si lelaki penyair itu pernah mengungkapkan perasaannya kepada si perempuan itu, tetapi si perempuan menolaknya, karena dia menganggap si penyair itu hanya sekedar teman biasa, tak ada perasaan lebih sedikitpun, lagi pula saat ini dia sudah punya kekasih.
Aku adalah sebuah cerita
Seorang penyair muda kasmaran menguntai aku dari keping-keping memori dalam ingatannya. Merangkai huruf jadi kata. Menyususn kata jadi kalimat. Kalimat jadi paragraf. Paragraf jadi cerita. Cerita jadi kumpulan cerita. Kaulah yang memberi makna akan adanya aku. Aku memang hanya sepotong cerita, tapi, aku mungkin akan selalu tetap ada. Karena aku telah dituliskan.
Meskipun tetap tak ada seorangpun yang tahu-kecuali aku dan kau yang membaca dan memberi makna-nasibku setelah ini…?
Mungkin aku akan terlupakan dan terabaikan bersama tumpukan kertas-kertas lain, tulisan-tulisan lain, berkas-berkas lain, buku-buku lain atau aku akan terlahir kembali dalam bentuk yang lebih utuh: sebuah buku.
Aku adalah sebuah buku
Yang menunggu untuk dibaca, bukan sekedar untuk dipajang di lemari kaca.
Written by : Adipati Karna
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)